Cari Opini Tentang

Jumat, 31 Juli 2015

Kekeringan, Air, dan Kita

Kekeringan, Air, dan Kita

Rhenald Kasali ;  Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
                                                     KORAN SINDO, 30 Juli 2015    

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saya tengah membaca laporan World Economy Forum (WEF) 2015 yang membahas 10 tren masalah yang bakal mengemuka di dunia dalam 15 hingga 18 bulan ke depan. Laporan itu menyebutkan dengan mengetahui apa saja masalahnya, kita bakal tahu langkah-langkah apa yang mesti disiapkan untuk mengantisipasi. Laporan WEF itu mengasyikkan, tetapi sekaligus menggetarkan. Pengantar untuk tulisan tersebut dibuat Al Gore, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat. Lalu, setiap tren juga ditulis tokoh-tokoh ternama.

Misalnya, artikel tentang terus meningkatnya jumlah pengangguran di dunia ditulis Larry Summer dari Harvard University. Untuk kali ini saya akan membahas topik yang ditulis Matt Damon, seorangaktoryangpunya perhatian besar terhadap isu-isu lingkungan hidup dan pendiri water.org, serta Gary White yang CEO water.org. Topiknya tentang increasing water stress.

Saya pilih topik ini karena kebetulan cocok dengan kondisi aktual yang terjadi di Indonesia, yakni masalah kekeringan. Bagi saya kekeringan itu adalah salah satu gambaran dari masalah besar yang dihadapi masyarakat dunia. Apa itu? Akses terhadap ketersediaan air.

Dampak Kekeringan

Saya akan mulai dengan isu kekeringan. Bagi Anda yang tinggal di perkotaan tentu merasakan betul fenomena ini. Panas kian terik menyengat. Debu-debu kian banyak yang berhamburan. Sungai-sungai kering, airnya menghitam bak jelaga. Saking keringnya bahkan di sana akhirnya kita bisa melihat sampah-sampah yang terbenam di bagian dasarnya.

Tapi kita yang tinggal di kota masih beruntung karena sampai kolom ini ditulis kita tidak sampai mengalami kekurangan pasokan air. Krankran air kita masih mengucur. Alirannya masih deras meski mutunya memprihatinkan. Kadang keruh dan kita bisa menemukan endapan kotorannya. Tapi di banyak wilayah lain, sebaliknya telah terjadi.

Di daerah tertentu kondisinya lebih memprihatinkan. Mereka tidak bisa memperoleh air. Kita bisa membacanya melalui laporan berbagai media. Setidak-tidaknya ada 12 provinsi yang terancam kekeringan. Kali ini lebih parah ketimbang kekeringan pada tahuntahun sebelumnya.

Sebagaimana dilaporkan BBC Indonesia, keluhan ini dilontarkan Tatang, seorang warga Indramayu, Jawa Barat, yang sudah 25 tahun menjadi petani. Parahnya kekeringan kali ini juga dipicu fenomena El Nino. Bagi yang masih awam, saya sederhanakan saja pengertiannya. Fenomena El Nino dipicu meningkatnya suhu permukaan air laut di kawasan Pasifik.

Akibatnya massa uap air yang berada di Indonesia ditarik ke kawasan tersebut. Indonesia pun miskin uap air. Ini yang membuat hujan tak kunjung turun. Jadi kalau dalam kondisi normal mungkin Agustus atau September hujan mulai turun. Namun kali ini mungkin hujan baru mulai turun pada November 2015. Mundur tiga sampai empat bulan.

Bahkan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menilai dampak El Nino kali ini lebih buruk ketimbang yang terjadi pada 1997-1998. Bicara tahun itu, saya tibatiba bergidik. Kita semua tentu masih ingat dengan peristiwa mengerikan yang terjadi pada tahun-tahun itu.

Itulah tahun ketika bangsa kita mengalami krisis ekonomi dan krisis politik bahkan sebetulnya krisis moral ketika menyaksikan penjarahan dan kekerasan yang terjadi sekaligus yang mengakibatkan jatuhnya rezim Soeharto. Kali ini, dampak El Nino agaknya bakal lumayan serius. Di beberapa daerah saya baca berita tentang sawah yang puso atau gagal panen akibat kekeringan.

Luasannya lumayan masif. Ini membuat produksi padi bakal menurun. Kita terancam kekurangan pasokan pangan. Itu sebabnya kali ini saya bisa mengerti kalau Bulog sudah harus mengimpor beras dalam volume yang lumayan besar, mencapai 500.000 ton. Saya kira, El Nino berpotensi mengganggu produksi pangan, bukan hanya di negara kita, tetapi juga di tingkat global.

Panen yang buruk bakal terjadi di berbagai belahan dunia. Di Brasil, misalnya, kekeringan juga terjadi secara meluas. Saya baca, di sana panen kopi di sana terancam gagal. Brasil adalah produsen kopi terbesar di dunia. Mudahmudahan ini tak sampai membuat harga kopi, yang kita nikmati setiap pagi, bakal naik.

Di Australia, El Nino juga mengancam panen tebu, pisang, dan bahkan mengganggu produksi hewan ternak. Lalu di India, El Nino mengancam produksi padi dan kacang-kacangan. Dengan kondisi semacam itu, tak mengherankan kalau harga-harga produk pangan bakal melonjak.

Bank Indonesia memperkirakan dampak kekeringan bakal membuat harga sejumlah komoditas pangan bakal naik 5% sampai 10%. Jadi, kali ini Bulog harus benar-benar agresif berburu beras di pasar untuk mengamankan stok. Saya berharap aksi Bulog kali ini tidak diganggu politisi atau dipolitisasi.

Kemudian dikait-kaitkan dengan pilkada serentak pada Desember nanti. Lalu, yang juga tak kalah mengeringkan adalah El Nino mengakibatkan titik-titik api di sejumlah lokasi terus meningkat. Selama beberapa tahun silam kebakaran hutan terjadi di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan. Negara kita kemudian disebut sebagai eksportir asap.

Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya gangguan hubungan antara Indonesia dengan Malaysia dan Singapura. Kita tentu tak mau peristiwa tersebut berulang. Maka kita tak bisa lagi mengantisipasi kekeringan dengan caracara biasa. Cara-cara yang kita lakukan di masa lalu.

Salah satu isu untuk mencegah kebakaran hutan adalah pembuatan canal blocking. Kanal-kanal ini dibuat untuk mencegah api merambat dari satu lokasi ke lokasi lain. Mestinya sampai Mei 2015 kita sudah membuat 10 canal blocking. Kenyataannya itu tidak terjadi karena kalangan pemerintah daerah tak berani mengambil keputusan untuk mengeksekusi gagasan tersebut.

Waduk

Baiklah, kita kembali bicara soal kajian WEF yang bicara soal krisis air tadi. Intinya begini. Menurut kajian WEF, krisis air mencakup dua isu utama, yakni ketersediaan cadangan air dengan akses terhadap cadangan tersebut. Ada kawasan yang cadangan airnya berlimpah, tapi masyarakatnya mengalami krisis air.

Ini, misalnya, terjadi di Ethiopia. Tapi, ada daerah yang sumber airnya sangat terbatas, tetapi pasokan air bagi masyarakatnya sangat berlimpah. Ini, misalnya, terjadi di Arab Saudi. Bagaimana dengan di Asia, seperti Indonesia? Cadangan air mungkin bukan masalah serius. Tapi tingginya kepadatan penduduk di beberapa kawasan di Asia mungkin berpotensi menimbulkan masalah yang serius.

Lalu, krisis air makin juga diperparah dengan adanya kemiskinan. Di India, misalnya, sekitar 100 juta warganya yang miskin kesulitan memperoleh akses air bersih. Perubahan iklim yang berkelanjutan juga bakal menjadi masalah besar. Proyeksi water.org begini.

Jika tahun 2005 kelangkaan air dialami oleh 2,837 miliar penduduk bumi, untuk tahun 2030 bakal meningkat sekitar 38% menjadi 3,901 miliar. Mengerikan. Mudah-mudahan itu tak sampai terjadi. Solusinya, pemerintah mesti berperan aktif. Dan saya gembira melihat pemerintahan kita kali ini rajin membangun waduk.

Jangan lupa, kita juga punya teknologi membuat air dari penguapan di udara (embun). Kalau mau, sekarang ada banyak jalan. Mudah-mudahan kita tak sampai mengalami krisis air.

Menyongsong Ahlul Halli wal Aqdi

Menyongsong Ahlul Halli wal Aqdi

Rumadi Ahmad ;  Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Peneliti Senior the Wahid Institute Jakarta
                                                     KORAN SINDO, 30 Juli 2015    

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di samping soal Islam Nusantara yang ramai diperbincangkan masyarakat, ada persoalan lain yang sekarang menjadi perdebatan menjelang Muktamar NU Ke- 33, 1-5 Agustus 2015, di Jombang Jawa Timur, yaitu terkait dengan mekanisme pemilihan pemimpin tertinggi NU yang disebut rais am dan ketua umum tanfidziyah.

Jika selama ini pemilihan rais am dan ketua umum tanfidziyah dilakukan dengan mekanisme pemilihan langsung oleh pengurus cabang dan pengurus wilayah NU (PC dan PW NU), kini mekanisme tersebut akan diubah dengan model formatur yang dipopulerkan dengan sebutan ahlul halli wal aqdi (AHWA).

Model pemilihan seperti ini mempunyai legitimasi tinggi dari sisi sejarah Islam, karena pernah diterapkan dalam pengangkatan Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga. Gagasan mengenai AHWA muncul setelah Muktamar Ke- 32 di Makassar pada awal 2010.

Ada dua persoalan penting dalam muktamar ini yang kemudian menjadi landasan pentingnya AHWA diimplementasikan dalam Muktamar Ke-33. Pertama, dalam proses pemilihan rais am dan ketum tanfidziyah disinyalir terjadi politik uang yang dilakukan orang-orang yang mempunyai kepentingan dengan proses pemilihan tersebut.

Politik uang ini sedemikian rupa terjadi dan menjadi aroma busuk sepanjang muktamar. Gejala ini sebenarnya sudah mulai tercium sejak Muktamar NU Ke-31 di Solo, dan semakin nyaris tak terkendali di dalam muktamar di Makassar. Pola pemilihan langsung (one man one vote) seperti yang selama ini dilakukan disinyalir menjadi salah satu penyebab maraknya politik uang.

Karena itu, perlu dicari mekanisme yang mempersempit peluang terjadinya politik uang. Model AHWA dipandang sebagai alternatif untuk meminimalkan hal itu. Kedua, kerasnya pertarungan calon rais amyang diikuti dengan mobilisasi tim sukses memengaruhi muktamirin (apalagi dengan iming-iming uang seperti di atas) dipandang tidak elok, terkesan mengadu antarulama.

Hal itu dipandang jauh dari nilai-nilai keulamaan yang harus dipegang teguh. Atas dua persoalan tersebut digagaslah mekanisme AHWA, di mana PC dan PWNU tidak memilih langsung calon rais am, tapi memilih sejumlah orang (misalnya, sembilan orang) dari kiai-kiai dengan kualifikasi tertentu.

Sejumlah kiai inilah yang bertindak sebagai formatur untuk memilih rais am, bisa dari salah satu di antara sembilan orang ini, atau bisa juga dari luar sembilan orang tersebut. Keprihatinan situasi pemilihan pimpinan NU tersebut terus muncul karena terlalu banyak pihak yang berkepentingan dengan NU dan berupaya untuk menguasai NU.

KH Mustofa Bisri menyindir situasi ini dengan menyatakan pemilihan pemimpin NU di berbagai tingkatan takubahnya seperti pilkada. Dalam pleno PBNU di Wonosobo, (8/9/ 2013) Rais Am PBNU KH SahalMahfudh (almarhum) memerintahkan PBNU segera memproses gagasan tentang AHWA untuk menjadi aturan yang dapat diterapkandalam pemilihan kepemimpinan dalam seluruh jajaran NU.

PBNU akhirnya membentuk sebuah tim yang melakukan kajian, mempelajari dasar filosofis dan acuan historis hingga teknis implementasinya. Hasil kajian tersebut kemudian dibahas dalam musyawarah nasional (munas) dan konferensi besar (konbes) pada November 2014, yang kemudian disepakati digunakannya AHWA dalam pemilihan kepemimpinan NU, tapi implementasinya dilakukan secara bertahap untuk mengidentifikasi hal-hal yang perlu disempurnakan.

Hal itu dimulai dengan pemilihan rais am PBNU dan rais syuriah PW dan PC NU. Adapun untuk pemilihan ketua umum tanfidziyah masih dilakukan melalui mekanisme pemilihan langsung. Dari kesepakatan ini, tim PBNU menyusun aturan operasional yang akan diterapkan dalam Muktamar Ke-33 mendatang.

Sejumlah PWNU, terutama Jatim dan Jateng, sudah mengajukan konsep dan mekanisme AHWA. Tim organisasi dalam kepanitiaan Muktamar Ke-33 berupaya mematangkan konsep itu agar bisa diaplikasikan. Pematangan dan proses diskusi dilakukan dalam acara pramuktamar yang digelar di NTB pada 9 April 2015 yang diikuti sejumlah PWNU.

Mekanisme ini ternyata tidak begitu saja bisa diterima, terutama di kalangan PC dan PWNU sebagai pemegang hak suara. Dalam beberapa kali acara pramuktamar membicarakan AHWA suara penolakan masih cukup kuat. Bahkan, dalam pramuktamar di Makassar pada 21-23 April 2015, di mana salah satu sesinya membicarakan tentang AHWA, terjadi penolakan cukup keras dari sejumlah PWNU Indonesia bagian timur.

Sejumlah PWNU bahkan menggalang tanda tangan menolak AHWA. Demikian juga dalam acara pramuktamar di Medan, beberapa PWNU di wilayah Sumatera juga terang- terangan menolak AHWA. Melihat arus penolakan AHWA yang cukup kuat, PBNU menggelar munas (15/6/ 2015) yang dihadiri sejumlah pengurus syuriah PWNU dengan agenda tunggal: membahas AHWA.

Pertemuan sekitar tiga jam itu tidak berlangsung panas. Meski ada beberapa tokoh PBNU yang bersuara kritis, namun di akhir munas alim ulama itu disepakati pemilihan rais am tidak pakai sistem voting, tapi melalui AHWA. Hal ini dimaksudkan untuk menyumbat intervensi pihak luar dalam pemilihan kepemimpinan NU.

Pemegang otoritasnya adalah para ulama yang matang secara keilmuan dan maqom ruhaniyah-nya, sehingga tak mudah tergoda dengan bujukan-bujukan duniawi. Dalam pertemuan itu juga disepakati bahwa rais am adalah jabatan shahibul maqam yang tidak boleh ditempati kecuali orang-orang yang memang mempunyai maqom yang sesuai.

Dalam maqom itu terkandung kriteria faqih (memiliki penguasaan mendalam ilmu-ilmu syariat); wara (terjaga martaban keulamannya dari akhlak dan perbuatan yang tidak pantas, termasuk keterlibatan dalam politik praktis); munadh-dhim (mampu memimpin manajemen organisasi); dan muharrik (mampu menggerakkan dinamika jamiah).

Apakah dengan demikian, AHWA akan pasti digunakan dalam memilih rais am? Saya belum yakin sepenuhnya. Konsep AHWA yang semula netral sekarang ini sudah dipolitisasi sedemikian rupa seolah digunakan untuk menghadang seorang calon.

Tokoh yang semula mendukung AHWA yang juga salah satu calon ketua umum tanfidziyah, KH Asad Said Ali, belakangan juga mengkritik pedas AHWA. Sistem AHWA dikatakan bagus dari luar, tapi busuk di dalam karena diduga hanya untuk kepentingan seseorang (KORAN SINDO, 28/7).

Kritik yang kurang lebih sama sebelumnya juga disampaikan tokoh senior NU, KH Tolhah Hasan. Mengapa sistem AHWA masih dipersoalkan, bahkan ditolak, sejumlah PC dan PWNU? Ada beberapa alasan yang muncul. Pertama, soal legitimasi. Legitimasi AHWA dianggap kurang kuat dibanding legitimasi pemilihan langsung.

Kedua, AHWA juga dianggap membatasi hak PC dan PWNU untuk memilih secara langsung. Ketiga, AHWA bertentangan dengan arus demokrasi yang justru memberi ruang pemilihan langsung, bukan melalui perwakilan. Keempat, AHWA belum siap diterapkan karena sistemnya dianggap belum jelas. Apakah yang dipilih dengan AHWA itu rais am dan ketum tanfidziyah sekaligus? Kalau hanya rais am mengapa?

Persoalan-persoalan tersebut masih menggantung dan potensial menjadi bola panas dalam muktamar. Kita masih harus menunggu, apakah AHWA akan digunakan dalam pemilihan rais am atau bahkan akan kembali menggunakan sistem pemilihan langsung.

Tidak mudah memastikan, namun untuk menjaga martabat NU sudah saatnya AHWA menjadi pilihan terbaik, setidaknya untuk pemilihan rais am. Untuk pemilihan ketua umum tanfidziyah boleh saja dilakukan melalui voting, namun harus dipastikan calon-calonnya direstui oleh rais am terpilih.

Akan lebih baik jika ada kesepakatan mekanisme AHWA juga akan digunakan untuk memilih ketua umum tanfidziyah untuk muktamar berikutnya.

Menyoal Kebijakan Harga BBM

Menyoal Kebijakan Harga BBM

Marwan Batubara ;  Direktur IRESS
                                                     KORAN SINDO, 30 Juli 2015    

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejak penetapan Perpres No 191/2015 dan Permen ESDM No 39/2014, harga jual bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia telah mengikuti harga keekonomian dan tidak lagi disubsidi. Peraturan tersebut juga memuat formula harga dan rencana perubahan harga setiap bulan sesuai perubahan harga minyak dunia. Ternyata dalam praktiknya peraturan tersebut tidak dijalankan secara konsisten sehingga antara lain berdampak pada kerugian badan usaha milik negara (BUMN) dan terganggunya ketahanan energi.

Dengan mengacu pada pembelian produk BBM sesuai harga indeks pasar (HIP atau Mean of Plats Singapore/MOPS) dan formula dalam permen diterapkan, harga jual BBM dapat dihitung berdasarkan berbagai komponen biaya berupa: a) Harga pokok produksi = harga pembelian sesuai HIP/MOPS + biaya transportasi, b) Harga pokok penjualan = harga pokok produksi + biaya penyimpanan + biaya distribusi, c) Harga dasar = harga pokok penjualan + margin Pertamina + margin SPBU, dan d) Harga jual BBM = harga dasar + PPN + PBBKB + Iuran BPH.

Nilai komponen biaya yang menentukan harga jual BBM antara lain biaya transportasi produk, biaya distribusi, biaya penyimpanan dan mobil tangki, pajak-pajak (PPN dan PBBKB) dan biaya-biaya lainnya.

Dari simulasi harga yang dilakukan untuk periode 25 Juni- 22 Juli 2015, pada harga ratarata MOPS USD73/barel dan USD1=Rp13.200, diperoleh harga pokok produksi Rp6.600/ liter, harga pokok penjualan Rp6.800/l, dan harga dasar Rp7.200/l. Bila ditambah dengan kompensasi biaya distribusi ke luar Jawa-Madura-Bali Rp150/liter, harga jual BBM sekitar Rp8.500 (untuk wilayah Jawa Madura dan Bali/Jamali diperoleh harga jual Rp8.700/l).

Simulasi di atas menunjukkan bahwa harga jual BBM tidak sekadar ditentukan oleh harga beli produk, tetapi juga harus memperhitungkan berbagai komponen lain yang nilainya cukup signifikan, terutama biaya distribusi, penyimpanan dan pajak. Secara rerata, harga jual BBM di Indonesia adalah harga MOPS ditambah Alpha (margin ditambah berbagai biaya) yang besarnya 16%-17%.

Dengan menghilangkan komponen pajak dalam harga BBM, besarnya harga yang berlaku di Indonesia dapat diuji apakah layak atau patut dipertanyakan berdasarkan nilai Alpha yang berlaku. Dari evaluasi yang dilakukan, dicatat bahwa nilai Alpha di Malaysia, India, dan Thailand masing-masing adalah 18%, 16%, dan 17,2%.

Hal ini menunjukkan bahwa besarnya margin serta biaya distribusi dan penyimpanan yang dikenakan Pertamina layak dan sebanding dengan yang berlaku di negara-negara lain. Karena itu, tidak relevan jika ada pihak atau kalangan yang mempersoalkan tingginya harga BBM tanpa memperhitungkan komponen biaya pembentuk harga.

Sebaliknya, menjadi sangat mendesak bagi pemerintah dan Pertamina untuk menyosialisasikan secara transparan seluruh komponen biaya pembentuk harga dan formula yang dipergunakan sehingga berbagai hal maupun persepsi yang tidak tepat dapat dicegah atau dikurangi.

Selanjutnya, jika memang pemerintah pusat dan/atau daerah menganggap harga BBM terlalu tinggi atau perlu dikurangi, hal tersebut antara lain dapat dilakukan dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan pajak (PPN dan PBBKB) yang saat ini nilainya 15% terhadap harga dasar. Pengurangan atau penghilangan pajak dapat pula berfungsi sebagai substitusi terhadap subsidi BBM yang saat ini sudah telanjur dicabut.

Sebaliknya, jika ingin menerapkan pola subsidi yang lebih berkeadilan, pemerintah dapat pula menerapkan PPN dan PBBKB secara selektif dengan nilai yang lebih tinggi kepada golongan yang mampu. Dengan demikian, upaya untuk menerapkan pola subsidi yang tepat sasaran mungkin dapat dicapai. Bagaimana mekanisme penerapan PPN dan PBBKB yang adil dan efektif perlu dikaji lebih lanjut.

Inkonsistensi Sikap

Ternyata pemerintah tidak konsisten menjalankan peraturan yang dibuat sendiri. Harga keekonomian BBM yang seharusnya disesuaikan berdasarkan perubahan harga minyak dunia dan kurs setiap bulan ternyata tidak dikoreksi sesuai formula yang ada.

Tampaknya hal ini terjadi lebih karena pertimbangan politik dan kekhawatiran menghadapi protes publik. Inkonsistensi sikap pemerintah tersebut memaksa Pertamina harus menjual BBM pada harga yang lebih rendah dari harga keekonomian.

Karena anggaran subsidi BBM tidak lagi tersedia di APBN, selisih harga tersebut harus ditanggung oleh Pertamina berupa kerugian dari penjualan BBM premium dan solar triliunan rupiah setiap bulan! Faktanya sejak Januari 2015 hingga Juli 2015 total kerugian Pertamina telah mencapai Rp12 triliun.

Tentu saja kebijakan pemerintah mengorbankan Pertamina patut dipertanyakan karena selain melanggar Undang-Undang BUMN yang melarang ada kerugian, kebijakan tersebut juga membuat kinerja keuangan Pertamina terganggu. Dampak lanjutannya antara lain menurunnya kemampuan membayar utang dan credit rating -nya sehingga lambat laun akan menurunkan kemampuannya mendukung ketahanan energi nasional.

Sebab itu, pemerintah perlu segera melakukan tindakan korektif dengan membuat pernyataan bahwa seluruh kerugian tersebut akan ditanggung pemerintah. Selanjutnya, pemerintah perlu menjelaskan mekanisme dan pola pembayaran yang akan diambil guna mengompensasi kerugian tersebut antara lain dengan menganggarkan dalam APBN-P2 2015, menganggarkan dalam APBN 2016, kompensasi melalui harga jual BBM yang tetap saat harga minyak dunia turun, dan berbagai alternatif lain yang layak diterapkan.

Ke depan, guna mencegah terulangnya kasus serupa, pemerintah perlu menetapkan kebijakan harga BBM yang komprehensif yang sedapat mungkin jauh dari dominasi pertimbangan aspek politis dan pencitraan.

Untuk itu, guna menjamin suksesnya penerapan harga BBM sesuai nilai keekonomian, pada saat yang bersamaan pemerintah pun perlu menjamin terwujudnya pola subsidi langsung yang tepat sasaran, serta pengelolaan industri migas yang tepercaya karena bebas mafia dan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah menerapkan batas atas dan bawah harga BBM, memberlakukan sistem dan dana stabilisasi harga BBM sebagai pengganti subsidi dalam APBN, dan menerapkan prinsip good corporate governance (GCG) di Pertamina melalui perubahan status menjadi non-listed public company karena rendahnya kepercayaan publik atas pengelolaan industri migas.

Kita menginginkan agar kebijakan tersebut dijalankan dalam satu paket kebijakan yang komprehensif dan berlaku untuk waktu yang lama.