Cari Opini Tentang

Jumat, 31 Juli 2015

Alat Transportasi Politik

Alat Transportasi Politik

Bandung Mawardi ;  Pengelola Jagat Abjad Solo
                                                         JAWA POS, 30 Juli 2015        

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DI Indonesia, demokrasi itu tontonan. Peristiwa berdemokrasi mesti dijadikan tontonan ”unik” dan picik. Ekspresi demokrasi tak usah serius atau bermutu. Kita bisa menonton ekspresi tersebut saat para calon kepala daerah mendaftar ke KPU. Peristiwa pendaftaran sudah dianggap menentukan peruntungan. Pendaftaran jadi agenda politik memuat komedi murahan dan ironi. Kita menonton demokrasi untuk tertawa dan mengejek. Kita pun merasa kasihan meski tak lekas berdoa demi keinsafan dan ejawantah adab demokrasi.

Di berbagai kota dan kabupaten, kita menonton kelucuan pilihan alat transportasi bagi pasangan calon penguasa. Mereka terlalu berharap agar alat transportasi memberikan pesan simbolis ke mata publik. Di Depok, pasangan asal PDI Perjuangan mendatangi KPU dengan menggunakan delman dan becak. Di Surabaya, Tri Rismaharini dan Whisnu Sakti Buana naik becak untuk menjalani proses pendaftaran ke KPU. Di Solo, jagoan PDI Perjuangan mengendarai sepeda onthel. Alat transportasi politik itu digenapi pengenaan baju surjan bermotif lurik dan caping. Di Semarang, cawali-cawawali asal PDIP menuju ke KPU dengan naik delman. Diikuti rombongan pendukung naik becak, motor gede, dan mobil. Kita memang diajak menonton, bukan mengartikan demokrasi secara reflektif.

Kejutan beraroma komedi dan ironi muncul di Sragen, Wonogiri, dan Solo. Di Sragen, pasangan cabup-cawabup (PDIP, Partai Demokrat, dan Partai Nasdem) memilih mengendarai setum wales alias alat berat untuk menghaluskan aspal jalan. Di belakang setum, pawai becak dan sepeda motor. Di atas setum, dua lelaki berdandan rapi mengenakan baju berwarna putih. Kita tentu tak usah serius memberikan makna politis. Di Wonogiri, pasangan asal Koalisi Wonogiri Sukses menggunakan angkutan kota. Cabup jadi sopir dan cawabup jadi kernet. Kita agak bingung mengartikan adegan itu pengambilan gambar sinetron atau drama di jalan.

Kejutan simbolis ada di Solo. Agenda pendaftaran sunggguhsungguh dijadikan pergelaran teater. Pada 28 Juli 2015, pasangan cawalicawawali asal Koalisi Solo Bersama bergerak ke KPU dengan naik kuda. Mereka berdandan mirip Pangeran Diponegoro dan Sentot Prawirodirdjo. Publik digoda untuk menonton sambil memotret, tertawa, dan bingung. Nuansa sejarah dipaksakan hadir di jalan. Pangeran Diponegoro ikut pilkada?

Kebiasaan mengendarai mobil mewah perlahan ditinggalkan demi pameran simbolis. Di pelbagai kota dan kabupaten, para calon penguasa mungkin ingin meraih sukses dengan meniru ekspresi politik Joko Widodo saat berikhtiar menjadi gubernur DKI Jakarta dan presiden Republik Indonesia. Kita masih ingat adegan-adegan politik Joko Widodo di bus dan bajaj. Pilihan alat transportasi itu manjur menjelaskan misi politik. Publik diajak memberi tafsir tentang kerja dan kebersahajaan. Pesan politik diproduksi melalui alat transportasi. Siasat itu sukses! Pengaruh masih bersambung saat pengusaha jamu membeli bajaj setelah digunakan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam ekspresi berdemokrasi. Bajaj itu dibeli untuk ditaruh dan dipamerkan di hotel, beralamat di Jogjakarta. Konon, bajaj itu bersejarah. Pihak pengelola hotel beranggapan, keberadaan bajaj bakal meningkatkan kunjungan tamu.

Tahun demi tahun berlalu. Demokrasi itu semakin jadi tontonan, belum mengarah ke pemikiran dan aksi bermutu. Kita justru mengetahui selebrasi demokrasi cenderung kemeriahan dan gerombolan. Kumpulan ribuan orang alias massa itu penjelasan paling utama. Pembuatan peristiwa meriah bermisi produksi simbolsimbol dan slogan-slogan. Pilihan tempat harus strategis demi menjadi tontonan. Ekspresi demokrasi sebagai tontonan disokong imajinasi (kekuasaan) tradisional. Di rombongan para calon penguasa, kita lazim melihat ada orang-orang berdandan punakawan atau tokoh wayang, tim penari, pembawa alat musik tradisional, atau rombongan berbusana adat.

Di jalan, demokrasi diangkut menggunakan berbagai alat transportasi. Kita mendapatkan kontradiksi. Orang-orang bersaing memiliki dan menggunakan alat transportasi canggih bernama sepeda motor atau mobil. Para pencari amanah publik justru mundur dalam pilihan alat transportasi. Mereka memilih delman, becak, sepeda onthel, dan setum. Pilihan naik kuda juga semakin mengejutkan. Mereka menggunakan pelbagai alat transportasi itu di jalan beraspal. Kecepatan dan kementerengan digantikan produksi simbolis meski klise. Mereka melupakan rutinitas jalan itu dilintasi mobil, sepeda motor, bus, dan truk. Jalan sering ramai dan macet. Kehadiran alat transportasi politik mirip ejekan atas situasi jalan dalam realitas keseharian. Mereka terlalu berharap ada makna dan propaganda politik melalui alat transportasi ”tak lazim” di jalan beraspal. Mereka pun memilih jalan-jalan utama.

Di Indonesia, segala hal bisa jadi politis. Alat transportasi politik semakin menambah daftar kebebalan berdemokrasi. Publik tak dirangsang mengikuti selebrasi demokrasi dengan pemikiran-pemikiran alias visi dan misi. Demokrasi gampang dipamerkan di jalan. Kita pun diajak membohongi realitas alat transportasi dan jalan. Selama puluhan tahun, pemerintah kerepotan mengurusi keramaian dan kemacetan di jalan. Pemilik sepeda motor dan mobil selalu bertambah setiap hari. Aksi ”oposisi” dari para pendamba jabatan menguak ”politik picik” dan kegagalan meng ekspresikan demokrasi bertaut realitas-realitas. Demokrasi telanjur dijadikan tontonan sensasional. Di jalan, berbagai alat transportasi difungsikan sebagai tontonan demi politik.

Kita pastikan mereka tak mungkin mengendarai pelbagai alat transportasi itu sebagai kendaraan dinas. Kesuksesan sebagai pemimpin tentu diganjar mobil dinas mewah. Kita bakal sulit menerima keputusan bahwa gubernur, wali kota, atau bupati mendapat fasilitas dari negara berwujud delman, becak, setum, sepeda onthel, atau kuda. Di jalan, kebohongan telah disajikan. Pendaftaran sebagai calon penguasa saja sudah memamerkan kedangkalan mengartikan demokrasi. Ironis!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar