Cari Opini Tentang

Sabtu, 04 Juli 2015

Defisit Kepercayaan

Defisit Kepercayaan

   Komaruddin Hidayat  ;   Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 03 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Berbagai penelitian sosial menunjukkan masyarakat yang tingkat amanah dan akuntabilitasnya rendah, yang biasa disebut sebagai the low trust society, akan sulit bersaing dalam persaingan dunia karena produk yang dihasilkan kualitasnya rendah, tetapi biayanya tinggi. Ini bisa dilihat baik dalam bidang manufaktur, industri, pendidikan, jasa maupun bidang lain. Jalur birokrasi yang panjang, ditambah lagi adanya pungutan biaya siluman, semua itu akan menambah mahal ongkos produksi sehingga hasil akhirnya mahal, tidak kompetitif di pasar. Kekhawatiran ini muncul ketika kita sebentar lagi memasuki pasar bebas.

Di Jepang, misalnya, yang birokrasinya dikenal bersih dan akuntabel, beberapa perusahaan industri mengalami penurunan karena disalip Korea Selatan. Salah satu sebabnya adalah mata rantai birokrasi yang dinilai lebih panjang dan memerlukan waktu lebih lama dalam mengambil keputusan dibandingkan Korea Selatan sebagai pesaingnya. Jadi, Jepang yang dikenal bangsa pekerja keras, teliti, dan menjaga kualitas pun mesti menambahkan satu faktor lagi, yaitu cepat, agar kompetitif dalam mengawal dan mengembangkan industrinya.

Kita sedih dan malu kalau mengamati bagaimana budaya birokrasi yang berkembang di Indonesia, yang lambat dan mahal. Selalu saja ada tambahan biaya tak terduga, baik waktu, uang maupun emosi.

Akibatnya melahirkan realitas pahit yang paradoksal. Banyak rakyat miskin yang hidup di negeri yang kaya sumber daya alam. Bonus demografi yang mestinya menjadi sumber kekuatan untuk memajukan kemakmuran rakyat janganjangan berbalik menjadi beban negara. Kenaikan anggaran pendidikan yang mestinya memiliki korelasi dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat malah memberikan harapan yang masih jauh dari kenyataan.

Sebagaimana diulas Francis Fukuyama dalam bukunya Trust (1995), kemajuan teknologi informatika telah membuat struktur organisasi semakin linier, tak lagi hierarkis. Dalam konteks politik di Indonesia, hal ini seiring dengan keputusan politik desentralisasi.

Hanya saja jika tidak dibarengi penerapan GCG, pemerintahan yang bersih dan efektif, yang terjadi justru pemerataan korupsi. Fukuyama mengingatkan, salah satu prinsip yang tidak kenal kompromi adalah penerapan etika agar tercipta pemerintahan yang tepercaya dan dapat dipercaya. Kita mesti belajar dari negara-negara baru yang dulunya di bawah cengkeraman Uni Soviet. Korupsi menyebar ke mana-mana, tidak mudah menemukan pemimpin berwibawa yang sanggup menciptakan pemerintahan efektif. Dalam era transisi, bermunculan penumpang gelap yang hanya memikirkan kepentingan pribadi.

Transisi dan Kompromi

Secara historis perjalanan negara ini relatif masih muda. Mengelola masyarakat dan kelompok sosial yang sedemikian besar dan majemuk sungguh tidak mudah. Semangat dan identitas keindonesiaan belum solid. Kesadaran dan disiplin kewarganegaraan (citizenship) belum mapan. Dalam waktu yang sama ikatan kedaerahan kian longgar. Dalam situasi transisional yang cair ini, jika pemerintah tidak efektif dan berwibawa, yang mengemuka bangsa ini bagaikan masyarakat kerumunan yang gaduh tidak jelas arahnya. Panggung politik diramaikan oleh persaingan dan pertunjukan tokoh-tokoh parpol dalam memperebutkan kekuasaan yang dikondisikan oleh jargon demokrasi dan reformasi.

Dari segi instrumen hukum dan undang-undang, negara ini cukup lengkap.
Bahkan dilengkapi oleh sekian puluh komisioner, yang paling ikonik tentunya KPK. Meski begitu, mengingat tradisi bernegara belum cukup mengakar, sekian banyak instrumen hukum yang ada tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Mengutip sinyalemen almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur), jika dilihat ke belakang, setiap tampil generasi baru, yaitu antara 20 hingga 25 tahun, selalu terjadi gejolak transisi nasional, tetapi tidak selalu dikelola dengan cerdas dan terencana.

Jika asumsi itu benar, misalnya kebangkitan politik pada 1908, 1928, 1945, 1965, maka pada dekade 1980-an sesungguhnya bangsa ini panen generasi baru yang tamat universitas, tetapi rezim Soeharto waktu itu kurang menyadarinya. Mereka anak-anak bangsa yang mengenal teori berdemokrasi dan paham makna akuntabilitas publik yang mesti didengarkan aspirasinya.

Karena salah dan lambat membaca suara zaman, tahun 1998 Presiden Soeharto dipaksa turun oleh anak-anak sendiri yang mengenyam pendidikan di era Orde Baru. Baru tahun 2004 diselenggarakan pemilu secara langsung dan menghasilkan SBY sebagai presiden dengan UU baru yang membatasi masa kepresidenan paling lama dua kali. Jadi, secara textbook demokrasi, baru SBY merupakan presiden pertama yang naik dan turun sesuai dengan kaidah pemilu setiap lima tahun.

Dengan cerita singkat ini saya ingin mengingatkan, kita baru mulai membangun tradisi baru tentang akuntabilitas publik. Jika seorang presiden, gubernur, bupati, dan anggota DPR tidak performed, mestinya publik akan menghukumnya untuk tidak memilih kembali pada periode berikutnya.

Prestasi dan warisan dari gerakan reformasi yang mesti kita apresiasi adalah iklim kebebasan pers. Ini merupakan modal sosial bagi gerakan akuntabilitas publik. Rakyat memiliki kebebasan dan keberanian berbicara serta mengkritik pemerintah, suatu situasi yang tidak ditemukan semasa Orde Lama dan Orde Baru. Masalahnya adalah, meski kita bebas mengkritik, tiba-tiba kita dihadapkan kenyataan menjamurnya tindakan korupsi baik di pusat maupun daerah yang terjadi hampir di semua lini birokrasi. Suara dan gerakan antikorupsi setiap hari kita dengar, bersamaan dengan berita temuan tindakan korupsi. Kita belum menemukan formula yang jitu bagaimana mengatasi proses pembusukan yang terjadi dalam tubuh birokrasi maupun politik.

Gerakan antikorupsi untuk mewujudkan akuntabilitas publik sering kali memperoleh hambatan justru karena pihak-pihak yang sering jadi korban tidak mau dan tidak berani melaporkan kepada media massa maupun instansi berwenang. Lebih repot lagi ketika terjadi sengketa yang berakar pada korupsi, penyelesaiannya dengan jalan kompromi antaraktor yang mestinya konsisten menegakkan hukum dan pemerintahan bersih.

Rasa malu bagi koruptor semakin tipis. Mereka membuat kalkulasi durasi waktu berapa lama harus menjalani tahanan dan jumlah tabungan hasil korupsinya ketika masa tahanan sudah berakhir. Dengan demikian yang namanya proses pengadilan sering kali tidak luput dari proses tawar-menawar yang mengarah pada jual beli pasal. Konsep harga diri yang mestinya didasarkan pada integritas berubah artinya menjadi berapa juta rupiah harga diri penegak hukum. Tragis dan ironis. Yang mengemuka bukannya akuntabilitas publik, melainkan pengkhianatan publik.

Akuntabilitas Administrasi dan Moral

Kita sangat merindukan sebuah pemerintahan yang efektif, bersih, dan berwibawa sehingga sanggup menggerakkan dan memberdayakan rakyatnya. Sebuah pemerintahan yang bukan untuk ditakuti, tetapi yang menginspirasi dan memotivasi warganya untuk bangkit. Sebuah pemerintahan yang menampilkan sosok-sosok role model bagi anak-anak bangsa mengingat saat ini masyarakat sangat haus akan sebuah kemenangan dan kebanggaan sebagai anak bangsa yang besar ini.

Peran ini hanya bisa dilakukan jika terjalin hubungan saling percaya (trust) antara rakyat dan pemerintah. Sebuah kepercayaan akan muncul jika seseorang diyakini memiliki kompetensi, integritas, visi dan mimpi besar untuk membawa perubahan ke arah keunggulan. Oleh karena itu, sesungguhnya yang diharapkan rakyat terhadap pemerintah bukan sekadar menyajikan pertanggungjawaban berupa akuntabilitas administratif dalam hal penggunaan anggaran negara. Pemberantasan korupsi itu hanyalah prasyarat bagi kemajuan sebuah bangsa.

Sekadar baik dan jujur tidaklah cukup, kita juga memerlukan akuntabilitas intelektual dan kompetensi dari penyelenggara negara. Persaingan antarbangsa tidak lagi mengandalkan seberapa kaya sumber daya alam suatu negara, melainkan mencakup pula apa yang sering disebut sebagai intellectual capital, moral capital, dan social capital.

Bangsa ini sangat kaya dengan aset budaya dan pengalaman panjang meraih kemerdekaan. Bahkan juga berhasil melakukan ijtihad politik menjaga pluralisme agama, bahasa, dan budaya. Tapi, lagi-lagi, semua itu belum dikapitalisasi secara optimal bagi kemajuan dan kemakmuran warganya.

Kita rindu untuk melihat bangsa dan negara ini berdiri tegak dengan percaya diri, bermartabat, dan disegani dalam pergaulan dunia. Kita mendambakan terealisasinya mimpi dan cita-cita para pejuang dan pendiri bangsa sebagaimana yang terkandung dalam Pancasila. Masyarakat Indonesia yang cerdas, mampu melaksanakan nilai kebertuhanan yang memunculkan sikap kemanusiaan untuk keadilan dan kesejahteraan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar