Cari Opini Tentang

Senin, 13 Juli 2015

Jabatan Komisioner KPK

Jabatan Komisioner KPK

Romli Atmasasmita ;  Guru Besar Emeritus
Universitas Padjadjaran dan Universitas Pasundan
                                                     KORAN SINDO, 10 Juli 2015    

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menarik, artikel Saudara Eddy O Hiarej (Kompas, 8/7) tentang jabatan komisioner KPK yang intinya mempersoalkan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KPK tentang pemberhentian sementara pimpinan KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Pemahaman sejarah pembentukan KPK memang diperlukan untuk mengetahui asal-usul setiap pasal dalam UU KPK. Alasan KPK dibentuk karena Polri dan kejaksaan dipandang tidak efektif menangani korupsi yang sudah sangat luar biasa sehingga diperlukan tindakan-tindakan luar biasa dengan kewenangan luar biasa dan diperlukan lembaga yang luar biasa.

Lembaga yang luar biasa ini harus dijalankan oleh manusiamanusia luar biasa yaitu mereka yang memiliki integritas, kredibilitas, dan keahlian yang memadai sehingga diperlukan seleksi yang ketat. Keluarbiasaan kewenangan KPK harus dibatasi oleh antara lain dengan ketentuan umum mengenai persyaratan dan kualifikasi calon pimpinan KPK yang dibuktikannya sejak mengikuti seleksi calon pimpinan (capim) KPK.

Asumsinya, para capim KPK telah membaca, mengetahui, dan memahami setiap pasal dalam UU KPK termasuk dan tidak terbatas pada syarat-syarat umum, tetapi juga syarat-syarat khusus yang berlaku bagi mereka. Beberapa contoh yang harus dipahami seperti syarat keahlian dalam bidang hukum, ekonomi, dan perbankan dengan pengalaman 15 tahun (bukan bidang ilmu lain) atau syarat pemberhentian pimpinan KPK yang menjadi tersangka baik mengenai perbuatan yang terjadi sebelum maupun selama menjadi pimpinan KPK.

Dalam konteks status tersangka tidak adadasarhukumterkaitsebelum atau selama menjalani jabatan yang dapat membebaskannya kecuali karena ketentuan kedaluwarsa (Pasal 78 KUHP). Kewenangan komisioner KPK yang sangat luas berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) tersangka. Kemungkinan itu berdasarkan UU KPK seperti kewenangan penyadapan, pemblokiran rekening, pencekalan, danpenyitaantanpaizin pengadilan.

Situasi ini memerlukan integritas lima pimpinan KPK dalam mengemban tugas dan wewenangnya memerlukan rambu pembatas yaitu keputusan harus diambil secara kolektif. Rambu ini untuk mencegah pengaruh eksternal dan kepentingan pribadi dan tidak boleh ada SP3 agar lima komisioner bertindak hati-hati berdasarkan UU KPK dan KUHAP.

Syarat pemberhentian sementara untuk status tersangka komisioner juga berlaku pada petugas Polri dan kejaksaan berdasarkan baik UU Kepolisian 2002 dan PP Nomor 3 Tahun 2003 tentang Teknis Peradilan bagi Anggota Kepolisian maupun UU Kejaksaan 2004. Sedangkan dua institusi terakhir tidak memiliki kewenangan luar biasa seperti KPK.

Tidak ada perlakuan hukum yang diskriminatif terhadap komisioner KPK. Justru jika diberikan perlindungan hukum khusus kepada komisioner KPK, menjadi ganjil dan tidak proporsional dengan kewenangan dan tanggung jawabnya dibandingkan dengan kepolisian dan kejaksaan.

Harus dipahami bahwa pengertian diskriminatif dalam konvensi internasional tentang HAM hanya khusus ditujukan terhadap perbedaan perlakuan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan latar belakang sosial (Art.4.1 ICCPR, 1996), bukan pada status jabatan publik.

Masalah pemberhentian sementara terkait pada masalah integritas ketika seseorang akan menjadi capim KPK seharusnya sudah memahami persyaratan sebagai capim KPK dalam UU KPK dan siap menanggung risiko jabatan jika terpilih, tidak terkecuali. Jika syarat pemberhentian dianggap memberatkan atau membebani, seharusnya sejak awal yang bersangkutan menolak untuk ikut serta dalam pemilihan capim KPK.

Berdasarkan alasan integritas tersebut, naif jika komisioner KPK terpilih berdalih bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KPK diskriminatif (terhadap dirinya) ketika yang bersangkutan menjadi tersangka apa pun tindak pidananya sedangkan kewenangan yang sangat luas dan berbeda dari kepolisian dan kejaksaan telah ia ”nikmati” baik secara hukum maupun secara sosial (social standing) baik di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan.

Posisi tersebut tidak pula dapat diperbandingkan dengan jabatan politis seperti presiden/wakil presiden atau kepala daerah karena jabatan komisioner KPK adalah jabatan penegak hukum. Tidak dapat kita bayangkan seorang komisioner KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka tidak diberhentikan dan yang bersangkutan tetap melaksanakan tugas dan wewenangnya memeriksa dan menuntut perkara korupsi.

Padahal, yang bersangkutan tetap duduk sebagai pesakitan selama proses penyidikan dan bisa mengikuti sidang pengadilan hingga 450 hari sampai putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Apalagi dalam sistem pengendalian internal KPK tidak ada ketentuan pemberhentian sementara sekalipun pelanggaran kode etik.

Jika status sementara dihapuskan, amat tidak berwibawa KPK sebagai lembaga independen yang bebas dari kekuasaan manapun yang seharusnya menjadi contoh bagi petugas Polri dan kejaksaan yang dalam status yang sama saja, bisa diberhentikan sementara.

Lebih jauh jika tidak ada pemberhentian sementara terhadap status tersangka komisioner KPK, komisioner KPK merupakan personal ”par excellence” satu-satunya di bawah UUD 1945 yang memiliki status tertinggi dibandingkan dengan jabatan presiden dan wakil presiden. Apa iya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar