Cari Opini Tentang

Senin, 13 Juli 2015

Kemenangan Hilal

Kemenangan Hilal

Garin Nugroho ;  Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
                                                           KOMPAS, 12 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hilal adalah bulan sabit muda pertama setelah terjadinya konjungsi yang menentukan hari terakhir puasa dan awal dari Lebaran. Oleh karena itu, hilal menjadi penting bagi umat Islam untuk bisa bersama-sama merayakan hari Lebaran yang lebih disebut sebagai hari merayakan kemenangan.

Namun menjelang Lebaran ini, saya ingin memberi catatan khusus pada film Indonesia bertajuk Mencari Hilal karya Ismail Basbeth yang dibintangi dengan seni peran yang terpuji dari Deddy Sutomo dan Oka Antara. Hilal dalam film ini tidak saja dipresentasikan sebagai bulan sabit muda, tetapi juga dipresentasikan sebagai nama seorang anak muda yang harus menemani ayahnya yang ingin melihat hilal sebagai penunjuk merayakan hari kemenangan.

Sebuah perjalanan ayah dan anak yang penuh paradoks. Ayah yang begitu keras dan jujur menjalankan ibadah beserta hukum-hukumnya, bahkan sampai terlupa merawat istri yang sakit dan tak cukup dekat dengan anaknya, sementara sang anak penuh dimensi pemberontakan pada sikap ayahnya yang serba mutlak. Yang menarik, film ini secara sederhana dan alami mengelola benturan ayah dan anak lewat peristiwa-peristiwa yang membawa kita pada kesadaran tentang Islam Nusantara: toleransi, keberagaman tafsir, pertemuan Islam dengan beragam budaya lokal yang penuh adopsi baik dalam tata cara, cara pandang, cara laku baik busana, hingga perayaan-perayaan religiusitas yang melahirkan keberagaman.

Bagi saya, dalam suasana Ramadhan ini, perayaan hari kemenangan menjadi berarti sekiranya ruang komunikasi publik dalam kehidupan sehari-hari, seperti bioskop, radio, hingga televisi ataupun ceramah-ceramah keagamaan, mampu menjadi daya hidup Islam Nusantara. Ruang publik komunikasi yang mampu mengelola wajah religiusitas yang tidak hitam putih, vulgar, penuh kekerasan, serba mutlak dan memaksa, yang hanya melahirkan ruang publik komunikasi religiusitas yang menakutkan serta penuh ancaman atas perbedaan serta pertanyaan.

Padahal, perbedaan dan pertanyaan sebagai muara tafsir adalah kemuliaan terbesar dalam Islam yang dikenal sebagai ijtihad (tafsir dalam tinjauan beragam perspektif yang dalam). Di sisi lain, taqliq buta alias tafsir sempit, dangkal, dan membabi buta adalah jalan yang dihindari ajaran Islam dalam menghidupkan religiusitas.

Film Mencari Hilal berakhir dengan benturan keras perbedaan yang menjadikan sang ayah tidak mengakui anaknya dan sang anak menyatakan sekiranya boleh melakukan pilihan, tidak ingin menjadi anak dari ayah yang menelantarkan kehidupan rumah dan ibunya untuk ibadah. Adegan berakhir dengan pertemuan ayah dan anak di pantai dengan hilal (bulan sabit muda) terhampar di depan. Sang ayah juga menemukan hilal sebagai anaknya di sampingnya. Sang ayah telah melihat hilal sebagai kehidupan utuh yang toleran.

Melihat film ini, tentu banyak kekhawatiran dalam hubungannya dengan penonton, berkait gaya yang natural dari film ini dengan bintang laki-laki tua dan anak muda dalam peristiwa- peristiwa sederhana. Namun bagi saya, daya hidup komunikasi religiusitas Islam Nusantara sangat digantungkan daya hidup warga untuk terlatih dalam komunikasi yang elegan, sederhana, serta penuh respek.

Haruslah dicatat, dilema agama abad ini bertumbuh lebih menjadi agama simbolis yang mudah dikonsumsi di tengah abad serba pasar dan dipasarkan. Ironisnya, di tengah era teknokapitalis serba pameran perhatian tiap detik untuk meraih massa, menjadikan komunikasi ruang publik agama serba simbolis, tidak lagi mempunyai keberanian mencari jalan lain, selain berlomba mengelola pameran perhatian dengan cara vulgar, serba kemasan berlebihan serta eksploitasi dangkal, yang memang mudah dikonsumsi. Pada gilirannya komunikasi publik agama simbolis segalanya serba jargon mutlak ataupun serba hitam-putih, sebuah perjalanan komunikasi publik religiusitas yang kehilangan ijtihad, yang menjadi daya hidup terbesar dan terindah Islam.

Lebaran sesungguhnya harus menjadi hari kemenangan, kemenangan yang tidak lagi dengan komunikasi publik penuh kekerasan dan ancaman. Namun dengan jalan ijtihad, memberi daya hidup religiusitas lewat jalan tafsir multi dimensi penuh toleransi yang memberi ruang pertanyaan, perbedaan, dan adopsi. Sesungguhnya jalan ijtihad ini yang menjadikan Islam dalam sejarahnya di Indonesia mampu merembes dan beradopsi dengan beragam budaya di Nusantara, serta duduk bersama dengan agama lain, bahkan yang seperti Buya Syafii Maarif katakan, ”mampu duduk bersama antara yang theis dan atheis”. Dengan kemuliaan itu, Indonesia menjadi negara Islam terbesar di dunia serta contoh daya hidup religiusitas bagi dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar