Cari Opini Tentang

Selasa, 14 Juli 2015

Koperasi di Persimpangan Jalan

Koperasi di Persimpangan Jalan

M Dawam Rahardjo ;  Rektor Universitas Proklamasi '45, Yogyakarta
                                                           KOMPAS, 13 Juli 2015          

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 dan Penjelasannya yang menjadi dasar regulasi dan pelembagaan koperasi Indonesia itu tidaklah seperti ilham yang turun dari langit, melainkan memiliki akar sejarah dan perkembangan pemikiran mengenai ekonomi dan koperasi Indonesia.

Kesimpulannya, pertama, koperasi Indonesia dipandang sebagai sistem ekonomi mikro, sebagaimana identitas koperasi universal rumusan  International Cooperative Aliance (ICA), dan kedua, dipandang sebagai sistem ekonomi mikro maupun makro walaupun sistem makronya disebut  "Demokrasi Ekonomi" sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 33 atau sistem "Kesejahteraan Sosial" yang menjadi judul bab XIV, UUD 1945. Namun, dalam realitasnya, terdapat perbedaan interpretasi antara penekanan pada jati diri koperasi sebagai sistem ekonomi mikro atau badan usaha dan koperasi sebagai sistem ekonomi makro yang mewajibkan pemerintah berdasarkan konstitusi membina dan membantu koperasi sebagai sistem ekonomi makro.

Dalam realitas telah lahir tiga model menurut jati dirinya. Pertama, koperasi sebagai gerakan sosial-ekonomi. Kedua, koperasi sebagai program pemerintah. Ketiga, koperasi sebagai badan usaha. Pada mulanya koperasi lahir sebagai gerakan dan bagian dari misi gerakan sosial, mula-mula pada Boedi Oetomo/BO (1908) dan kemudian Sarekat Dagang Islam/SDI (1911). Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sendiri lewat pejabatnya, Asisten Residen Sieburgh, menyatakan simpati sebagai bagian dari etika liberalnya, dan penggantinya, Wolf van Westerride, memperkenalkan koperasi simpan pinjam Raiffeisen dan Schutze Delitze di kalangan petani miskin untuk menggantikan sistem perbankan di pedesaan.

Namun, BO maupun SDI mengembangkan koperasi konsumen dan perdagangan model Rocdale Inggris di kalangan kaum buruh. Sikap simpati dalam bentuk full-commitment and limited inlvolvement di kalangan birokrat itu kemudian jadi tradisi yang diteruskan JH Boeke di kalangan pejabat Belanda dan Margono Djojohadikusumo di kalangan birokrat pribumi di masa Hindia Belanda.  Ini dilakukan terbatas dalam kegiatan penerangan dan pendidikan masyarakat, tanpa bantuan program atau permodalan.

Model ini diteruskan Wakil Presiden Hatta. Intervensi pemerintah baru dimulai pada zaman Jepang yang menempatkan koperasi sebagai alat penghimpunan dan distribusi bahan pangan, dan dihidupkan kembali tahun 1969 oleh Presiden Soekarno dalam rangka mencapai Sistem Ekonomi Sosialis Indonesia. Program penghimpunan dan distribusi pangan itu ditambah bahan sandang. Sejak itu, lahir model koperasi sebagai program pemerintah. Pada masa Orde Baru mulai dikembangkan secara bertahap koperasi sebagai badan usaha yang dikombinasikan dengan program pengembangan UKM.

Koperasi sebagai gerakan

Baik di Eropa maupun Hindia Belanda, koperasi pada dasarnya berkembang dalam bentuk gerakan yang sering tak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Di masa Hindia Belanda, gerakan koperasi tak sejalan dengan program pengembangan bank desa oleh pemerintah. Sejak Kongres Koperasi 1927 oleh Partai Nasional Indonesia di bawah Soekarno, koperasi mulai dicurigai sebagai alat perjuangan melawan penjajahan. Dalam politik liberal, koperasi diarahkan sebagai suatu badan usaha. Pemerintah bersimpati terhadap gerakan melawan monopoli-monopsoni seperti di Barat.

Setelah koperasi membuktikan diri memberikan manfaat terhadap rakyat, misalnya dalam mengatasi kemiskinan, menciptakan kapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan, pemerintah mulai bersimpati kepada gerakan koperasi, baik di Eropa-Amerika maupun di Hindia Belanda. Mereka mulai membantu perkembangan koperasi dengan regulasi, pelembagaan dan kebijakan ekonomi, misalnya pembebasan pajak dan pemberian bisnis, dalam rangka peningkatan kesejahteraan.

Kebijakan ini diikuti perusahaan swasta, misalnya dengan mengizinkan pembentukan koperasi di kalangan buruh dan karyawan, umumnya koperasi simpan-pinjam yang meringankan beban perusahaan. Namun, kebijakan ini menimbulkan sikap yang bertentangan dengan asas kemandirian (independensi) dan keswadayaan (self-help) koperasi, berupa motif dapat bantuan dan perlindungan  pemerintah yang diskriminatif yang bertentangan dengan asas liberalisme ekonomi.  

Lambat

Karena berbagai hambatan itu, perkembangan koperasi menjadi lambat. Asas kemandirian dan self-help gerakan koperasi kemudian dinilai menyebabkan lambatnya perkembangan koperasi dan membutuhkan kesabaran. Pejabat yang bersimpati kepada koperasi yang menyadari manfaat koperasi dalam peningkatan kesejahteraan sosial kemudian melakukan kebijakan akselerasi perkembangan koperasi, sebagaimana dilakukan Soeharto. Bentuknya, pemberian bisnis, misalnya distribusi pupuk dan penyaluran kredit ke anggota dan unit usaha koperasi dalam industri pengolahan gabah jadi beras untuk dijual ke Bulog dengan perlindungan harta, yang kemudian menimbulkan konsep sisa hasil usaha (SHU).

Sukses koperasi kemudian diukur dari besarnya SHU, volume usaha dan nilai aset. Kebijakan yang dinilai "memanjakan" koperasi itu tak disetujui sebagian penganjur gerakan koperasi yang berhaluan menekankan jati diri koperasi sebagai sistem ekonomi mikro atau badan usaha. Mereka lebih menyetujui penguatan koperasi sebagai badan usaha bersama atau dasar kerja sama (cooperation) agar mampu bersaing  di pasar bebas. Dengan perkataan lain, menekankan asas kemandirian dan keswadayaan sebagai badan usaha. Kelompok koperasi ini bahkan menolak bantuan pemerintah sebagaimana dilakukan Credit Union yang anggotanya umumnya banyak, di atas 1.000 orang, sehingga tabungan dan asetnya besar.

Namun, sebagian pejabat dan pelaku gerakan koperasi juga menyadari kelemahan koperasi dalam penghimpunan modal karena tersandera definisi koperasi sebagai "kumpulan orang dan bukannya kumpulan modal". Kelompok inilah yang berusaha mencari jalan keluar, dengan membedakan antara tabungan yang dianggap sebagai dana pihak ketiga (DPK) sesuai prinsip perbankan, dengan modal yang disetor anggota dengan istilah "modal pokok" dan "sertifikat saham" yang berbeda dengan modal oleh investor besar sebagai "pemegang saham  pengendali".

Inilah yang membedakan koperasi sebagai user oriented firm dengan perseroan terbatas sebagai investor oriented firm. Legitimasi koperasi diperkuat sebagai badan hukum yang disahkan notaris; pendiriannya didasarkan model usaha, rencana usaha dan rencana keuangan dan anggaran program berdasarkan studi kelayakan, yang disahkan dalam rapat anggota sebagai program koperasi. Konsekuensi perbedaan penafsiran mengenai identitas koperasi itu akan menimbulkan perbedaan pendapat dalam penyusunan UU Perkoperasian baru, pengganti UU No 17/2012 yang bertujuan meneguhkan koperasi sebagai badan usaha sehat, mandiri, dan berpotensi untuk berkembang, dengan ukuran jumlah anggota setiap unit, volume usaha, SHU dan nilai aset.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar